top of page
1.Header
2.Home

this is

akasadina

SLIDE TO FOLLOW MY JOURNEY!

3.Blog

SERI JELAJAH KERATON SOLO; ALUN-ALUN UTARA

Updated: Dec 7, 2018




Tahukah anda, bahwa kota Solo yang kita kenal sekarang ini, 270 tahun yang lalu hanyalah sebuah desa yang kebetulan diapit oleh dua sungai besar. Yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Lalu, bagaimana desa kecil tersebut bisa bertransformasi menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta sekaligus pusat perekonomian utama Jawa Tengah? Dua topik besar ini akan dibahas dalam artikel yang terpisah. Dalam artikel kali ini, saya akan mulai bercerita dari tokoh Utama yang memprakarsai perubahan hebat di muara Bengawan Sala, Kasunanan Surakarta.


Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan Kerajaan Mataram yang beribukota di Kartasura, 11 kilometer dari Solo (Surakarta) saat ini. Pada tahun 1742, Keraton Kasunanan di Kartasura hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina (Geger Pacinan) melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II. pada tahun 1743, Pakubuwono II dikukuhkan kembali menjadi raja Mataram oleh Kompeni Belanda. Beliau lalu memutuskan untuk melupakan istananya yang sudah porak-poranda dan membangun istana baru di tempat lain.


Pakubuwono II memilih memindahkan istananya yang baru ke desa Sala yang terletak di dekat tempuran. Yaitu tempat bertemunya dua sungai, Pepe dan Bengawan Sala. Lokasi ini dipilih atas lima pertimbangan Utama; kebutuhan akan pertahanan, kebutuhan ekonomi, transportasi, kebutuhan spiritual, serta kebutuhan praktis.


Ilustrasi suasana bantaran Bengawan Solo circa 1865. Koleksi Tropen Museum

Pakubuwono II memilih memindahkan istananya yang baru ke desa Sala yang terletak di dekat tempuran. Yaitu tempat bertemunya dua sungai, Pepe dan Bengawan Sala. Lokasi ini dipilih atas lima pertimbangan Utama; kebutuhan akan pertahanan, kebutuhan ekonomi, transportasi, kebutuhan spiritual, serta kebutuhan praktis.

Atas saran Van Hohendorff, wakil Kompeni Belanda di Kartasura, Bengawan Sala dapat dijadikan beteng pertahanan alami untuk menghadapi serangan musuh keraton dari sebelah timur. Kedua, Bengawan Sala sebagai sungai terbesar di Jawa merupakan jalur penghubung ekonomi, sosial, politik, dan militer antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Lalu, menurut mistik Jawa, tempuran sendiri mempunyai arti magis dan tempat-tempat di sekitarnya dianggap keramat. Pertimbangan terakhir adalah karena Sala telah menjadi desa, sehingga tidak diperlukan tenaga pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain untuk mendirikan keraton baru.


Keraton yang baru lalu dinamai Surakarta. Diambil dari kata "sura" yang berarti berani, dan "karta" yang berarti sejahtera. Nama ini dimaksudkan sebagai retisi atau imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta. Sebab Sunan Pakubuwono II mendambakan pusat kerajaan nantinya dapat berkembang pesat sebagai pusat pemerintahan setara dengan Jakarta (Batavia).



keraton sebagai mikrokosmos

Secara garis besar, bangunan keraton Kasunanan Surakarta berderet membujur mengikuti sumbu Utara-Selatan. Dimulai dari Alun-alun Utara sebagaitempat menyelenggarakan pertunjukan atau acara seremonial. Lalu Kedaton tempat tinggal raja beserta keluarganya sebagai inti pusat keraton. Dan berakhir di alun-alun Kidul. Sumbu imajiner ini merupakan adapatasi dari pola konsentris dalam kosmologi Hindu-Jawa; di mana keraton diibaratkan sebagai alam semesta kecil (mikrokosmos).

Bagi masyarakat Jawa, poros Utara-Selatan dipersonifikasikan oleh dua mahkluk halus berlain jenis, yaitu Kyai Sapujagad, penguasa Gunung Merapi di Utara, dan Ratu Kidul penguasa Laut Selatan. Buah dari perkawinan kedua makhkluk halus iini adalah benih raja-raja Mataram.


Tulisan ini adalah bagian pertama dari serial "Keraton Solo. Riwayatmu Kini", Untuk meneruskan membaca tulisan selanjutnya. Klik Tautan berikut.



GAPURA GLADAK


Gapura Gladak yang ikonik, buah tangan Pakubuwono X

Gapuro Gladak adalah gerbang utama kompleks keraton. Gapuro ini dibangun pertama kali oleh Pakubuwono III pada tahun 1750. Dahulu, alun-alun utara adalah tempat penyembelihan hewan-hewan hasil buruan raja. Hewan-hewan ini digladak (diseret) sebelum disembelih. Daging hewan buruan lalu di-purak yang dibagi kepada kawula. Aktivitas ini menjadi asal-usul nama Gapuro Gladak dan Gapuro Pamurakan yang terletak 100 meter di selatannya. 150 tahun sejak Kasunanan Surakarta pindah ke Solo, kawasan keraton dan sekitarnya mengalami perubahan besar-besaran dalam pemerintahan Pakubuwono X. Masa pemerintahannya dari tahun 1893 hingga 1939, bertepatan dengan semangat modernisasi sekaligus kebangkitan ekonomi Solo akibat booming industri batik.


Pakubowono X memiliki visi yang luar biasa akan wajah Solo modern. Pada tahun 1913, beliau mengadakan sayembara untuk renovasi Gapura Gladak yang dimenangkan oleh sebuah perusahaan konstruksi Belanda. Gapura Gladak yang baru dirancang dengan beton, material bangunan yang masih sangat jarang digunakan. Sifat beton memungkinkan konstruksi gapura yang tinggi (mencapai 6 meter) dan berumur Panjang. Hasilnya adalah tiga baris gapura yang dengan gagah membingkai wajah keraton sekaligus dua beringin kembarnya.


Kios buku bekas Gapura Pamurakan. Mampir yuk.

Jika anda penggemar buku bekas, blusukanlah ke kios-kios yang terletak sebelah barat gapura Pamurakan. Kios ini dulunya adalah tempat parkir kereta kuda para tamu keraton. Buku bekas yang dijual sebagian ditulis dalam Bahasa asing. Namun , harganya cukup murah dan kondisinya cukup baik asal anda jeli dan pintar menawar.


ALUN ALUN UTARA


Dari Gapuro Pamurakan ke arah Selatan, anda akan menjumpai hamparan tanah lapang berumput, yaitu Alun-alun Lor keraton. Dahulu Alun-alun Lor dipenuhi dengan pasir, yang bisa digunakan untuk ‘pencuci kaki’ bagi orang-orang yang ingin sowan kepada raja atau bagi orang-orang yang melakukan pepe, meditasi dengan menjemur diri di bawah terik matahari di antara dua pohon beringin kurung.


Rampogan Macan

Alun-alun Lor memiliki fungsi seremonial sebagai tempat berlangsungnya upacara-upacara kenegaraan, seperti Garebeg dan peringatan ulang tahun naik tahta raja. Selain itu, alun-alun juga memiliki fungsi militer. Yaitu sebagai sebagai tempat latihan perang prajurit keraton, sekaligus tempat pelepasan prajurit sebelum berangkat perang. Ada pula fungsi atraksi untuk masyarakat umum. Misalnya atraksi rampogan, di mana ratusan orang bersenjatakan lembing mengambil tempat di sekeliling Alun-alun untuk membunuh seekor hariamu yang dilepas di tengah alun-alun.


Saat ini, fungsi alun-alun yang masih bertahan tinggal fungsi seremonialnya. Salah satunya sebagai tempat perayaan garebeg, di mana dua buah gunungan berisi hasil bumi diarak dari Siti hinggil menuju Masjid Agung, untuk kemudian diperebutkan oleh masyarakat. Anda dapat menyaksikan upacara garebeg ini tiga kali dalam setahun. Yaitu Garebeg Mulud (Sekatenan) untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah; Garebeg Syawal, menyambut Idul Fitri 1 Syawal tahun Hijriyah; dan Garebeg Besar, untuk menyambut hari raya Besar umat Islam (Idul Adha) yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun Hijriyah.



Saat bentuk pemerintahan Surakarta masih berupa feodalisme, kawula yang melangkah di hamparan alun-alun tidak diperkenankan memakai alas kaki. Karena seluruh kawasan keraton adalah rumah raja, dan memakai alas kaki di dalam rumah adalah tindakan yang tidak sopan. Kendaraan bahkan tongkat untuk membantu berjalan pun juga dilarang. Foto di atas diambil awal tahun 2017. Hamparan pasir di alun-alun utara Pakualaman tidak tampak karena tertutupi kios non-permanen. Kios-kios ini merupakan relokasi pedagang Pasar Klewer setelah pasar tersebut terbakar pada tahun 2016. Tampak pula jalan yang membelah alun-alun telah di-paving untuk memudahkan jalan mobil.

BANGSAL PETALON


Bangsal yang beralih fungsi dan bertahan

Di bagian Tenggara Alun-alun Lor, terdapat bangsal Patalon yang berfungsi sebagai tempat untuk membunyikan gamelan untuk mengiringi latihan sodoran atau watangan, yaitu latihan perang dengan menaiki kuda sambal memanggul tombak. Pada tahun 1830 latihan sodoran ini dihapus. Di sebelah Selatan bangsal Patalon terdapat kandang macan untuk menyimpan harimau-harimau yang akan diadu dalam rampagan macan. Di sekeliling alun-alun, dulu ada beberapa bangsal yang berfungsi sebagai hotel bagi para tamu keraton. Kini, sebagian bangsal tersebut telah hilang. Sebagian lagi beralih fungsi menjadi kios yang menjual kacamata dan imitasi benda pusaka .


AFTER THOUGHTS


Perubahan fungsi yang dipicu oleh modernisasi membuat kita perlu memikirkan kembali peran yang dapat diampu oleh sebuah ruang publik. Fenomena yang terjadi di alun-alun utara merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat diduga. Fleksibilitas menjadi sebuah pertimbangan tersendiri dalam merancang ruang public modern. Di mana pekarangan Sultan yang sakral dan sarat akan nilai mistis, bahkan di suatu waktu pernah menjadi tempat adu nyali dengan macan hutan, perlu pula menyiapkan diri untuk invasi Toyota Avanza beserta rekan-rekannya.

Alun-alun Surakarta 1941. Kuda besi dan panser metal menggantikan prajurit berkuda dan rampog macan

Dari identifikasi elemen penyusun Alun-Alun Lor Surakarta, kita dapat menyaksikan secara bertahap perubahan yang terjadi pada komponen kota dalam rentang waktu setidaknya 100 tahun. Modernisasi bukanlah fenomena yang dapat diprediksi. Harap maklum, komponen kota harus tambal sulam kanan kiri untuk mengikuti kebutuhan penggunanya yang makin ramai, dan makin banyak keinginan pula. Maka, ruang publik perlu fleksibel dan cepat tanggap untuk mewadahi fenomena ini. Namun, tidak lupa pula, ia perlu mempertahankan identitas masa lalunya yang dianggap baik dan memiliki nilai historis yang berharga. Dan Alun-Alun Lor Pakualaman, dapat memadukan keduanya dengan baik.


Comentarios


  • Instagram - White Circle
  • Facebook - White Circle

ABOUT ME

ABOUT
DINA IRAWAN

a wanderlust who rarely make plans and happier that way

  • Instagram - White Circle
  • Facebook - White Circle

find me on instagram!

4.Travel

MORE FROM AKASADINA

  • Instagram - Grey Circle
  • Facebook - Grey Circle
5.Featured
7.Contact
bottom of page